Berawal dari pandangan umum bahwa makanan di setiap wilayah tidak dapat
dilepaskan dari tiga faktor penting, yaitu iklim, sumber daya alam, dan
kebiasaan masyarakat. Di Indonesia, peta kuliner sangat beragam dan
menarik. Selain tiga faktor di atas, saya yakin ada hal yang
melatarbelakangi perkembangan budaya makan yang terkait dengan
aspek-aspek historis, di samping kultur masyarakat. Selalu muncul
pertanyaan yang menggelitik, mengapa suatu jenis makanan atau suatu
raw material begitu identik dengan suatu kawasan tertentu.
Bali menjadi salah satu dari sekian kasus kuliner yang saya pandang unik
dan menarik, karena –mungkin— selain dilandasi nilai-nilai sejarah dan
budaya, khasanah kuliner Bali juga mengandung nilai religius. Sebagian
besar orang luar Bali yang beragama Islam, selalu takut untuk mencoba
mencicipi masakan Bali yang identik dengan babi. Masakan seperti lawar
yang mengkombinasikan gudeg-urap khas Bali yang diberi darah babi
mungkin tampaknya telah memberikan prediksi yang kuat pada masyarakat
luar Bali yang ingin berkunjung ke tempat wisata ini untuk tidak
mencicipi hidangan pulau dewata ini. Memang, saya memandang, untuk
konsumsi orang Bali, daging babi masih digunakan. Terlebih lagi bagi
umat Hindu, sapi (putih) termasuk hewan suci yang masih sakral dan tidak
boleh disembelih. Hal inilah yang tampaknya membuat babi sebagai
konsumsi daging utama (chiefly food) bagi sebagian besar masyarakat
Bali.
Orang Bali
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi
masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang
bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa
sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh
orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh
ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang
Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di
paruh akhir milenium pertama.
Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung
berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India
saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu
terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali. Pada tahun 1001 (atau
mungkin 991), Bali telah sepenuhnya terkena proses Hinduisasi. Pada masa
kekuasaan Airlangga, Singasari amat memengaruhi Bali, baik secara
politik maupun budaya. Namun hubungan itu bukan tanpa konflik.
Orang-orang Bali beberapa kali menuntut otonomi mereka dari kerajaan
Singasari. Bahkan, ketika kekuasaan beralih ke tangan Majapahit,
tuntutan itu masih terjadi. Akhirnya, tuntutan itu terwujud ketika
kekuasaan Majapahit berakhir pada tahun 1515. Bali kemudian memiliki
otonomi untuk mengatur urusan dalam negerinya.
Pada periode Majapahit, sejarah Bali mulai jelas memuat dan memiliki
pola, meski banyak menyisakan legenda-legenda. Jatuhnya Majapahit
menandai bangkitnya Mataram yang merupakan kerajaan bercorak Islam.
Banyak dari ribuan pendeta, bangsawan, tentara, seniman, pengukir, yang
berpindah dari Jawa ke Bali untuk menghindarkan diri mereka dari para
penakluk muslim. Di Bali, mereka memberikan impuls yang kuat bagi
pertumbuhan tradisi Hindu Jawa yang terdesak oleh kekuatan Islam.
Fenomena migrasi ini kemudian menghasilkan terjadinya transfusi budaya
yang besar di wilayah Bali. Selama kurang lebih 400 tahun, tanpa
diganggu mereka hidup menetap di Bali dan memiliki keturunan.
Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan
Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan
kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging
utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of
choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar
pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.
Asal-Usul
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu
jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba,
kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa
jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena
pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti
kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu
orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya
nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein. Seorang
Cina Muslim, Ma Huan, tercengang ketika melihat makanan orang Jawa bukan
Islam yang dikatakannya sangat kotor dan buruk. Binatang-binatang
seperti ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing menjadi
bahan-bahan konsumsi. Selain Madura, Bali adalah wilayah pengekspor
ternak ke Jawa pada abad ke-14 sebagaimana juga masih bertahan selama
berabad-abad. Ternak-ternak seperti domba, biri-biri, kerbau, babi,
unggas, dan anjing menjadi upeti yang dikirim ke Majapahit kala itu.
Berbagai jenis babi diperkirakan sudah ditemukan di hutan-hutan Asia
Tenggara selama ribuan tahun dan diternakkan paling tidak sejak 3000
tahun S.M. Babi dianggap sebagai pengalih yang paling efisien dari
padi-padian ke daging dan merupakan sumber daging utama di
wilayah-wilayah di mana Islam belum masuk. Orang Eropa berpendapat bahwa
babi Asia Tenggara lebih sehat daripada babi di Eropa. Orang Islam
kemudian mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi, meskipun
kambing sudah ada (sebelum Islam) hingga sejauh Sulawesi, tapi belum
sampai ke Filipina. Hanya di Bali, yang kepadatan penduduknya telah
mengakibatkan pembabatan hutan yang tiada taranya, hewan-hewan Asia
Tenggara diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang
istimewa; meskipun setidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri
tidak bersedia memakannya. Maka wajar, jika hingga saat ini sapi putih
tropis masih dianggap suci di Bali; sehingga babi menjadi salah satu
bahan makanan alternatif.
Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama
di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan
dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pascaruntuhnya
kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu
Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh
Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan
apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta
memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan
kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan
makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk
tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya
yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks
dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi
daging yang haram, babi. Bali adalah sebuah perkecualian yang memadukan
nilai sejarah, budaya, dan keyakinan dalam unsur-unsur budaya makan
mereka. Indikasi mengapa babi menjadi konsumsi utama masyarakat Bali
dapat juga disimak dari dijadikannya hewan ternak ini sebagai komoditi
utama, terutama sejak abad 19 hingga awal abad ke-20.
Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak
–selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali.
Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan
beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau
nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor. Pada tahun 1910,
total ekspor babi dari selatan Bali mencapai 33.400 ekor. Babi yang
dijual tiap ekornya dihargai fl. 20 (fl=florin, satuan mata uang zaman
Belanda). Sebagai hewan domestik, sudah menjadi pertimbangan bahwa babi
merupakan komoditi ekonomi sekaligus sebagai bahan makanan yang
dikonsumsi.
Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali,
babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus.
Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid,
umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara
sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang
daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan
ritus di Bali, salah satunya dapat disimak Dalam rekaman kisah seorang
Amerika bernama Collin McPhee dalam bukunya A House in Bali (1947), ia
mengisahkan dirinya ketika memberikan hadiah dua ekor babi dalam acara
Galungan. Babi, tutur McPhee, merupakan chiefly food bagi sebagian besar
masyarakat Bali. Ketika orang Bali merasa berhutang budi dalam suatu
hal, maka hadiah atau balas budi diwujudkan dengan menyembelih seekor
babi miliknya. McPhee mengatakan juga bahwa babi yang telah disembelih
kadang dijadikan sebagai sebuah wujud untuk menyenangkan sesepuh desa.
Prosesi penyajian hidangan meriah dengan menu daging babi disaksikan McPhee sebagai berikut:
“…meanwhile, other helpers were engaged in preparing the classic
accompaniments: rice, of course; pepahit –a “bitter” dish of stewed
blimbing leaves to counteract the richness of the pig; sausage, made
form the pig’s blood and urab, a hash of finely mixed coconut, green
papaya, the chopped liver, and the heart. At last, the pig was
pronounced done to a turn. It was pleased on a banana leaf in along
wooden platter. The skin was brittle as thin glass and the meat,
perfumed beyond words from the spice, melted on tongue.“
Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam
mitos yang melekat di lingkungan orang Bali. Sewaktu McPhee mengunjungi
Kuil Kematian, ia menyaksikan relief-relief arkais yang menunjukkan
manusia dikelilingi oleh banyak babi. Ada pula kisah Raja Badulu yang
dikisahkan memiliki semacam topeng mengerikan, kombinasi mata manusia
dan mulut dengan moncong dan taring babi hutan. Dikisahkan bahwa Raja
Badulu terlahir memiliki kekuatan magis. Ketika kecil, Raja Badulu
seringkali menghibur dirinya sendiri dengan memotong kepalanya dan
meminta para pelayannya untuk memasangkan kembali kepala yang terpisah
dari raganya itu. Suatu ketika, kepala raja menggelinding ke sungai dan
terbawa arus. Para pelayan tidak mampu mendapatkan kembali kepala
tuannya. Dalam rasa putus asa, mereka akhirnya memenggal kepala seekor
babi hutan dan memasangkannya di leher sang raja…
Simpulannya, menilai keidentikkan babi dalam ruang lingkup kehidupan
masyarakat Bali yang dihubungkaitkan dengan nilai-nilai budaya masa lalu
tentu mengandung interpretasi yang masih cair. Namun, jika kembali
kepada tiga faktor: iklim, sumber daya alam, dan kebiasaan masyarakat,
kecairan penafsiran tersebut tampaknya dapat dipertimbangkan.
Pengaruh Cina?
Menyoal pengaruh Cina terhadap kuliner Bali, saya pikir tidak sebegitu
jelas jika dibandingkan dengan makanan di Jawa, Jakarta, atau Pontianak
yang coraknya masih dapat dirasakan. Hanya yang mengundang rasa
penasaran, jika berpijak dari anggapan bahwa daging babi juga begitu
identik dengan kuliner Cina, apakah ada pengaruh Cina dalam penggunaan
daging babi di Bali? Di sini, saya tidak terlalu dapat berspekulasi,
karena tidak ada satu pun referensi yang menyinggung pengaruh tersebut.
Denys Lombard bahkan menyebut bahwa kebudayaan Cina di Pulau Bali jarang
sekali disebut. Hal menarik yang disinggung Lombard adalah pengaruh
Cina dalam aspek botani, yaitu tamanan buah leci (lizhi). Ya, buah yang
dianggap sebagai tanaman asal “Kunlun” (sebutan dalam sumber-sumber kuno
Cina bagi kawasan Maritim Asia Tenggara) itu ternyata sejak zaman
Dinasti Han (202 S.M – 220 M) dijadikan sebagai upeti untuk dikirim ke
istana; serta salah satu komoditi yang diekspor ke utara dan ke selatan.
Buah leci yang jarang dan ternyata terdapat di Tabanan, Bali (selain di
Cianjur, Jawa Barat), setidaknya menandakan kehadiran pengaruh Cina di
pulau tersebut. Pun, tidak ketinggalan
Memang, secara geografis Bali terletak membentang sejauh satu mil dari
kawasan timur Jawa di lintas perdagangan langsung antara kepulauan
rempah-rempah di Maluku dan pelabuhan-pelabuhan Asia yang juga
mendistribusikan rempah-rempah seperti cengkih, pala, dan pala kering.
Kondisi geografis inilah yang membuat Bali pada masa emporium telah
disinggahi oleh para pedagang dan musafir India, Arab, Cina, Jepang,
Bugis, dan pedagang-pedagang timur lainnya yang bukan hanya membawa
barang-barang niaga, namun juga tata cara dan kebiasaannya. Sekalipun
Pulau Bali disinggahi dan dimukimi, orang-orang Bali lebih memilih untuk
mempertahankan kultur mereka, dengan sedikit kemungkinan menerima
pengaruh-pengaruh asing dalam kehidupan mereka.
Dengan berlandaskan pada kenyataan tersebut, di sini Willard A. Hanna
menyinggung mengenai keberadaan orang-orang Cina di Bali terutama pada
abad ke-19. Hanna tidak menyinggung kebudayaan material Cina yang
berarti, selain kopeng (koin Cina berlubang) dan buah pinang yang disuka
orang Bali tua dan muda. Lombard, Hanna, atau Kong Yuanzhi yang
mengupas warisan kuliner Cina ini pun bahkan tidak menyinggung sama
sekali wilayah Bali berkaitan dengan silang budaya Cina di di Nusantara.
Mungkin Lombard benar, jarang disebutnya kebudayaan Cina menandakan
agak kaburnya budaya Cina di pulau dewata tersebut.